Vincentius a Paulo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Santo Vincentius a Paulo (1581-1660), Pembaharu Gereja Perancis, "Bapak Orang Miskin". Sumber foto: koleksi CM
Vincentius a Paulo (1581-1660) adalah seorang kudus (santo)
dan pembaharu Gereja Katolik Perancis. Nama "Vincentius a Paulo" dipakai
oleh rumah sakit Katolik di Surabaya, SD dan SMP Katolik di Garum
Blitar dan Surabaya, satu paroki di Surabaya (Jalan Widodaren) dan satu
paroki di Kediri, juga SMA Seminari di Garum, Blitar, Jawa Timur, dan
panti asuhan di Jakarta (Jl. Otto Iskandardinata No. 76 A Kel. Bidara
Cina Kec. Jatinegara, Jakarta Timur). Vincentius juga disebut “Bapak
orang miskin” karena cinta dan pelayanannya kepada orang miskin. Oleh
Paus Leo XIII, Paus pencetus Ajaran Sosial Gereja, Vincentius
dideklarasikan sebagai santo pelindung (patron saint) karya amal cinta
kasih Gereja Katolik (bersama Santa Luisa de Marillac pada waktu Paus
Yohanes XXIII dalam suratnya
Omnibus Mater).
Selintas Riwayat Hidup
Vincentius lahir tanggal 24 April 1581 di desa Poy, Dax, Perancis
Selatan, dari keluarga miskin. Sejak kecil ia membantu kerja sebagai
penjaga ternak. Pada umur 15 tahun, keluarga dan desa ditinggalkannya
untuk sekolah di kota Dax. Kemudian ia menyelesaikan sarjana teologi di
kota Toulouse pada tahun 1604. Sebelum menyelesaikan teologi, ia
ditahbiskan sebagai imam (romo) pada tanggal 23 September 1600. Saat itu
umurnya baru 19 tahun.
Langkah selanjutnya sebagai seorang imam, Vincentius berusaha mencari
uang. Pertama-tama dia berjuang untuk menjadi Pastor Paroki di desa
Thil, tidak jauh dari desa asalnya. Menjadi pastor paroki pada zaman itu
sama dengan mendapat jabatan yang menghasilkan uang. Untuk itu ia
mencari surat keputusan dari Vikaris Jenderal Keuskupan Dax. Sayangnya
pada waktu itu seorang imam lain sudah diangkat untuk Paroki yang sama
dan pengangkatannya berasal dari Roma. SK Vikjen tentu tak banyak
berarti di hadapan SK dari Roma. Pada tahun 1601 dia pergi ke Roma untuk
memperjuangkan kariernya. Setelah beberapa bulan Vincentius muda
terpaksa kembali ke Toulouse tanpa penghasilan apa pun.
[2]
Kegagalan demi kegagalan mendapatkan penghasilan membuat Vincentius
berpikir: apa yang Tuhan kehendaki dari dirinya? Itulah pertanyaan yang
mengusik hatinya. Perjumpaan dengan orang-orang miskin di Chatillon les
Dombes dan kotbah di Gereja desa Folleville (1617) membuatnya tergerak
untuk beralih dari “hidup mencari penghasilan untuk diri sendiri” kepada
“hidup hanya untuk mengabdi Tuhan dan orang miskin”.
[3]
Bimbingan rohani dengan orang suci yang sangat dikaguminya pada waktu
itu, Fransiscus de Sales, Uskup Geneva, juga makin meneguhkan
pertobatannya untuk mengabdi Tuhan dalam diri orang-orang miskin dan
terlantar.
Setelah semakin mantap perjalanan hidupnya sebagai seorang imam,
Vincentius menghimpun beberapa kawan imam yang dia sebut sebagai
"romo-romo CM" (atau romo-romo Lazaris) pada tanggal 17 April 1625. CM
merupakan singkatan dari
Congregatio Missionis atau Kongregasi
Misi, kelompok romo dan bruder yang bertugas mewartakan Sabda Tuhan di
desa-desa yang tidak terlayani oleh imam. Sebab pada waktu itu, para
imam umumnya lebih memilih tugas di kota daripada di desa. Sebab di kota
mereka mendapat penghasilan. Vincentius pernah berkata bahwa di Paris
terdapat sepuluh ribu imam yang tidak berbuat apa-apa.
[4]
Saat ini Kongregasi Misi memiliki anggota sekitar 4000 orang yang
terdiri dari imam dan bruder dan tersebar di wilayah-wilayah Eropa,
Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Australia serta kepulauan pacifik.
[5].
Seperti pendirinya, seorang CM mengenakan semangat Kristus, yang
mewartakan Injil kepada orang-orang miskin. Semangat itu diterjemahkan
dalam karya-karya pendidikan para calon imam (seminari), pendidikan
awam, berkarya di paroki dan universitas, serta aneka karya pastoral di
keuskupan-keuskupan.
[6]
Disamping CM, Vincentius juga mendirikan serikat
Suster Puteri Kasih
(PK) tahun 1633 bersama Santa Luisa de Marillac. Suster Puteri Kasih
dalam sejarah Gereja adalah suster-suster pertama yang memiliki ciri
khas dapat berkarya merasul, berkeliling dari pelosok desa ke desa atau
di kampung-kampung kota, mengunjungi, merawat dan melayani orang-orang
miskin. Sebab pada zaman itu, yang disebut “suster” haruslah tinggal
dalam biara. Dalam sejarahnya, suster-suster Puteri Kasih adalah para
biarawati yang aktif melayani dan merawat yang sakit dan terluka pada
waktu perang, baik semasa perang saudara sesudah revolusi Perancis
maupun Perang Dunia Pertama maupun Kedua. Tahun 1945, jumlah mereka
pernah mencapai 45.000 suster. Tahun 2010 jumlah mereka menyusut, tetapi
masih terbesar di antara tarekat-tarekat religius yang lain: 23.000
suster.
[7]
Selain CM dan PK, Vincentius juga mendirikan Asosiasi Persaudaraan
Cinta Kasih yang pada zaman itu (abad ke-17) anggota-anggotanya terdiri
dari ibu-ibu bangsawan di Perancis. Di Indonesia, asosiasi ini disebut
AIC (Asosiasi Ibu-ibu Cinta Kasih).
[8]
Tokoh Pembaharu
Vincentius dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu Gereja Katolik
Perancis pada abad ke-17. Pierre Coste (1873-1935), salah satu sejarawan
terkenal dan penulis biografi Vincentius, menyebutnya sebagai “Santo
Agung dari Abad yang Agung.”
[9]
Maksudnya, Vincentius adalah salah satu tokoh besar Gereja Katolik yang
hidup pada abad itu dimana Perancis dipenuhi dengan para tokoh hebat
pembaharu spiritualitas, seperti Kardinal de Berulle, Andre Duval,
Franciskus de Sales (Geneva), Jean-Jacques Olier, dan seterusnya.
Apa kontribusi pembaharuan Vincentius? Yang menonjol dapat disebut
dua hal: 1) Vincentius mengubah “wajah Gereja”, dari Gereja yang
memperhatikan orang-orang kaya kepada Gereja yang menyambut dan melayani
orang-orang miskin; dan 2) Vincentius “merevolusi” Gereja Katolik dalam
hal pendidikan seminari, pendidikan khusus bagi para calon imam.
Vincentius dikenal sebagai pencetus sebuah pertemuan hari Selasa, dimana
para imam berkumpul untuk melakukan diskusi dan refleksi bagi pembinaan
diri. Perkumpulan itu disebut “Konferensi hari Selasa”.
[10]
Henri Bremond SJ, seorang sejarawan dan filosof Perancis, mengatakan bahwa Vincentius adalah seorang mistikus aktif.
[11]
Vincentius adalah pelayan orang miskin yang berdoa dan kontemplatif.
Kecintaan dan pengabdiannya kepada orang miskin dipondasikan pada
pengalaman rohani yang mendalam; dan perjumpaannya dengan orang miskin
dikontemplasikannya sebagai sebuah pengalaman rohani bertemu dengan
Tuhan sendiri.
[12]
Pada tahun 1633, seorang profesor sastra di Universitas Sorbonne
Paris, Frederic Ozanam bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok sosial
yang terdiri dari anak-anak muda. Ozanam mengambil spiritualitas
Vincentius sebagai pondasi semangat kelompoknya. Kelompok sosial itu
disebut Serikat Sosial Vincentius (SSV) yang saat ini berkembang pesat
di seluruh dunia dengan anggota kurang lebih satu juta awam Katolik
maupun dari agama lain.
Pengaruh Vincentius juga nyata dalam semangat pelayanan Beata Ibu
Teresa dari Calcuta India. Dalam satu dua tulisan rohaninya, Ibu Teresa
pernah berkata bahwa Santo Vincentius adalah inspirasi pelayanan
cintanya kepada orang-orang terlantar.
Spiritualitas Vinsensian
Spiritualitas berarti hidup untuk mencintai Allah. Cinta kepada Allah
dalam pengertian Vincentius berarti bekerja keras untuk Allah:
“Saudara-saudaraku, marilah mencintai Allah, sekali lagi marilah
mencintai Allah, tetapi dengan mencucurkan keringat dan dengan
menyingsingkan lengan baju”.
[13].
Menurut Vincentius cinta kepada Allah dengan sendirinya bermuara
dalam karya, yaitu dalam usaha melaksanakan kehendak Allah. Oleh karena
itu bagi Vincentius doa dan karya merupakan satu kesatuan: doa
dilanjukan dalam karya, karya dibawa dalam doa. Vincentius tidak
segan-segan menganjurkan kepada para suster Puteri Kasih demikian: “Bila
Suster terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan
cemas, karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan
Tuhan dalam diri orang miskin”.
[14] Ungkapan terakhir ini dapat diringkas: “Meninggalkan Tuhan untuk Tuhan.”
Kepada romo-romo CM, Vincentius mewariskan spiritualitas lima
keutamaan untuk hidup sehari-hari: Simplisitas (kesederhanaan),
Kerendahan hati, Kelembutan hati, Matiraga, Semangat untuk menyelamatkan
jiwa-jiwa. Sementara kepada para suster Puteri Kasih, ia mengatakan
semangat: kesederhanaan, kerendahan hati, cinta kasih.
[15]
Spiritualitas ini hingga saat ini dihayati banyak orang Kristiani,
bahkan umat dari agama lain, terutama kaum muda dalam upaya mereka untuk
mewartakan Kabar gembira dan melayani orang miskin.
Referensi
Vincentius
a Paulo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Wikifikasi
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas
Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala
dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian
kanan.[tampilkan]
Santo Vincentius a Paulo (1581-1660), Pembaharu Gereja Perancis, "Bapak
Orang Miskin". Sumber foto: koleksi CM
Vincentius a Paulo (1581-1660) adalah seorang kudus (santo) dan
pembaharu Gereja Katolik Perancis. Nama "Vincentius a Paulo" dipakai
oleh rumah sakit Katolik di Surabaya, SD dan SMP Katolik di Garum Blitar
dan Surabaya, satu paroki di Surabaya (Jalan Widodaren) dan satu paroki
di Kediri, juga SMA Seminari di Garum, Blitar, Jawa Timur, dan panti
asuhan di Jakarta (Jl. Otto Iskandardinata No. 76 A Kel. Bidara Cina
Kec. Jatinegara, Jakarta Timur). Vincentius juga disebut “Bapak orang
miskin” karena cinta dan pelayanannya kepada orang miskin. Oleh Paus Leo
XIII, Paus pencetus Ajaran Sosial Gereja, Vincentius dideklarasikan
sebagai santo pelindung (patron saint) karya amal cinta kasih Gereja
Katolik (bersama Santa Luisa de Marillac pada waktu Paus Yohanes XXIII
dalam suratnya Omnibus Mater).[1]
Daftar isi
1 Selintas Riwayat Hidup
2 Tokoh Pembaharu
3 Spiritualitas Vinsensian
4 Referensi
5 Pranala Luar
Selintas Riwayat Hidup
Vincentius lahir tanggal 24 April 1581 di desa Poy, Dax, Perancis
Selatan, dari keluarga miskin. Sejak kecil ia membantu kerja sebagai
penjaga ternak. Pada umur 15 tahun, keluarga dan desa ditinggalkannya
untuk sekolah di kota Dax. Kemudian ia menyelesaikan sarjana teologi di
kota Toulouse pada tahun 1604. Sebelum menyelesaikan teologi, ia
ditahbiskan sebagai imam (romo) pada tanggal 23 September 1600. Saat itu
umurnya baru 19 tahun.
Langkah selanjutnya sebagai seorang imam, Vincentius berusaha mencari
uang. Pertama-tama dia berjuang untuk menjadi Pastor Paroki di desa
Thil, tidak jauh dari desa asalnya. Menjadi pastor paroki pada zaman itu
sama dengan mendapat jabatan yang menghasilkan uang. Untuk itu ia
mencari surat keputusan dari Vikaris Jenderal Keuskupan Dax. Sayangnya
pada waktu itu seorang imam lain sudah diangkat untuk Paroki yang sama
dan pengangkatannya berasal dari Roma. SK Vikjen tentu tak banyak
berarti di hadapan SK dari Roma. Pada tahun 1601 dia pergi ke Roma untuk
memperjuangkan kariernya. Setelah beberapa bulan Vincentius muda
terpaksa kembali ke Toulouse tanpa penghasilan apa pun.[2]
Kegagalan demi kegagalan mendapatkan penghasilan membuat Vincentius
berpikir: apa yang Tuhan kehendaki dari dirinya? Itulah pertanyaan yang
mengusik hatinya. Perjumpaan dengan orang-orang miskin di Chatillon les
Dombes dan kotbah di Gereja desa Folleville (1617) membuatnya tergerak
untuk beralih dari “hidup mencari penghasilan untuk diri sendiri” kepada
“hidup hanya untuk mengabdi Tuhan dan orang miskin”.[3] Bimbingan
rohani dengan orang suci yang sangat dikaguminya pada waktu itu,
Fransiscus de Sales, Uskup Geneva, juga makin meneguhkan pertobatannya
untuk mengabdi Tuhan dalam diri orang-orang miskin dan terlantar.
Setelah semakin mantap perjalanan hidupnya sebagai seorang imam,
Vincentius menghimpun beberapa kawan imam yang dia sebut sebagai
"romo-romo CM" (atau romo-romo Lazaris) pada tanggal 17 April 1625. CM
merupakan singkatan dari Congregatio Missionis atau Kongregasi Misi,
kelompok romo dan bruder yang bertugas mewartakan Sabda Tuhan di
desa-desa yang tidak terlayani oleh imam. Sebab pada waktu itu, para
imam umumnya lebih memilih tugas di kota daripada di desa. Sebab di kota
mereka mendapat penghasilan. Vincentius pernah berkata bahwa di Paris
terdapat sepuluh ribu imam yang tidak berbuat apa-apa.[4] Saat ini
Kongregasi Misi memiliki anggota sekitar 4000 orang yang terdiri dari
imam dan bruder dan tersebar di wilayah-wilayah Eropa, Afrika, Amerika
Latin, Asia, dan Australia serta kepulauan pacifik.[5]. Seperti
pendirinya, seorang CM mengenakan semangat Kristus, yang mewartakan
Injil kepada orang-orang miskin. Semangat itu diterjemahkan dalam
karya-karya pendidikan para calon imam (seminari), pendidikan awam,
berkarya di paroki dan universitas, serta aneka karya pastoral di
keuskupan-keuskupan.[6]
Disamping CM, Vincentius juga mendirikan serikat Suster Puteri Kasih
(PK) tahun 1633 bersama Santa Luisa de Marillac. Suster Puteri Kasih
dalam sejarah Gereja adalah suster-suster pertama yang memiliki ciri
khas dapat berkarya merasul, berkeliling dari pelosok desa ke desa atau
di kampung-kampung kota, mengunjungi, merawat dan melayani orang-orang
miskin. Sebab pada zaman itu, yang disebut “suster” haruslah tinggal
dalam biara. Dalam sejarahnya, suster-suster Puteri Kasih adalah para
biarawati yang aktif melayani dan merawat yang sakit dan terluka pada
waktu perang, baik semasa perang saudara sesudah revolusi Perancis
maupun Perang Dunia Pertama maupun Kedua. Tahun 1945, jumlah mereka
pernah mencapai 45.000 suster. Tahun 2010 jumlah mereka menyusut, tetapi
masih terbesar di antara tarekat-tarekat religius yang lain: 23.000
suster.[7]
Selain CM dan PK, Vincentius juga mendirikan Asosiasi Persaudaraan Cinta
Kasih yang pada zaman itu (abad ke-17) anggota-anggotanya terdiri dari
ibu-ibu bangsawan di Perancis. Di Indonesia, asosiasi ini disebut AIC
(Asosiasi Ibu-ibu Cinta Kasih).[8]
Tokoh Pembaharu
Vincentius dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu Gereja Katolik
Perancis pada abad ke-17. Pierre Coste (1873-1935), salah satu sejarawan
terkenal dan penulis biografi Vincentius, menyebutnya sebagai “Santo
Agung dari Abad yang Agung.”[9] Maksudnya, Vhncentius adalah salah satu
tokoh besar Gereja Katolik yang hidup pada abad itu dimana Perancis
dipenuhi dengan para tokoh hebat pembaharu spiritualitas, seperti
Kardinal de Berulle, Andre Duval, Franciskus de Sales (Geneva),
Jean-Jacques Olier, dan seterusnya.
Apa kontribusi pembaharuan Vincentius? Yang menonjol dapat disebut dua
hal: 1) Vincentius mengubah “wajah Gereja”, dari Gereja yang
memperhatikan orang-orang kaya kepada Gereja yang menyambut dan melayani
orang-orang miskin; dan 2) Vincentius “merevolusi” Gereja Katolik dalam
hal pendidikan seminari, pendidikan khusus bagi para calon imam.
Vincentius dikenal sebagai pencetus sebuah pertemuan hari Selasa, dimana
para imam berkumpul untuk melakukan diskusi dan refleksi bagi pembinaan
diri. Perkumpulan itu disebut “Konferensi hari Selasa”.[10]
Henri Bremond SJ, seorang sejarawan dan filosof Perancis, mengatakan
bahwa Vincentius adalah seorang mistikus aktif.[11] Vincentius adalah
pelayan orang miskin yang berdoa dan kontemplatif. Kecintaan dan
pengabdiannya kepada orang miskin dipondasikan pada pengalaman rohani
yang mendalam; dan perjumpaannya dengan orang miskin dikontemplasikannya
sebagai sebuah pengalaman rohani bertemu dengan Tuhan sendiri.[12]
Pada tahun 1633, seorang profesor sastra di Universitas Sorbonne Paris,
Frederic Ozanam bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok sosial yang
terdiri dari anak-anak muda. Ozanam mengambil spiritualitas Vincentius
sebagai pondasi semangat kelompoknya. Kelompok sosial itu disebut
Serikat Sosial Vincentius (SSV) yang saat ini berkembang pesat di
seluruh dunia dengan anggota kurang lebih satu juta awam Katolik maupun
dari agama lain.
Pengaruh Vincentius juga nyata dalam semangat pelayanan Beata Ibu Teresa
dari Calcuta India. Dalam satu dua tulisan rohaninya, Ibu Teresa pernah
berkata bahwa Santo Vincentius adalah inspirasi pelayanan cintanya
kepada orang-orang terlantar.
Spiritualitas Vinsensian
Spiritualitas berarti hidup untuk mencintai Allah. Cinta kepada Allah
dalam pengertian Vincentius berarti bekerja keras untuk Allah:
“Saudara-saudaraku, marilah mencintai Allah, sekali lagi marilah
mencintai Allah, tetapi dengan mencucurkan keringat dan dengan
menyingsingkan lengan baju”.[13].
Menurut Vincentius cinta kepada Allah dengan sendirinya bermuara dalam
karya, yaitu dalam usaha melaksanakan kehendak Allah. Oleh karena itu
bagi Vincentius doa dan karya merupakan satu kesatuan: doa dilanjukan
dalam karya, karya dibawa dalam doa. Vincentius tidak segan-segan
menganjurkan kepada para suster Puteri Kasih demikian: “Bila Suster
terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan cemas,
karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan Tuhan
dalam diri orang miskin”.[14] Ungkapan terakhir ini dapat diringkas:
“Meninggalkan Tuhan untuk Tuhan.”
Kepada romo-romo CM, Vincentius mewariskan spiritualitas lima keutamaan
untuk hidup sehari-hari: Simplisitas (kesederhanaan), Kerendahan hati,
Kelembutan hati, Matiraga, Semangat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa.
Sementara kepada para suster Puteri Kasih, ia mengatakan semangat:
kesederhanaan, kerendahan hati, cinta kasih.[15]
Spiritualitas ini hingga saat ini dihayati banyak orang Kristiani,
bahkan umat dari agama lain, terutama kaum muda dalam upaya mereka untuk
mewartakan Kabar gembira dan melayani orang miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar